Kamis, 23 Mei 2013


BAB 6 DAN BAB 7
Contoh Kasus Hukum Dagang

Kasus Hukum Dagang I

Sebuah perusahaan mempunyai utang kepada tiga kreditur. Perusahaan tersebut berjanji akan membayarnya sesuai perjanjian yang telah disepakati kepada ketiga kreditur tersebut. Setelah dilakukan beberapa kali penagihan hingga jatuh tempo, utang itu belum juga dilunasi oleh perusahaan itu. Dalam kondisi seperti ini bisakah perusahaan dipailitkan?
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan ke pengadilan Niaga. Pengajuan itu harus memenuhi persyaratan sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Kepailitan. Ketentuan yang dimaksud dalam pasal tersebut secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar luna sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi.
Undang-Undang Kepailitan juga mengatur syarat pengajuan pailit terhadap debitur-debitur tertentu sebagai berikut:
Dalam hal debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia

Dalam hal debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dalam diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
Dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Kasus Hukum Dagang II

Seorang pengusaha menciptakan sebuah produk yang kemudian menjadi barang dagangannya. Desain logo untuk merek produk tersebut ternyata sama dengan desain merk sebuah perusahaan lain yang telah lebih dahulu ada dan terdaftar, perbedaannya hanya terdapat pada nama produknya saja. Oleh karena itu, perusahaan yang telah lebih dahulu mendaftarkan itu merasa dirugikan karena logo merknya ditiru dan menggugat pengusaha yang dianggap meniru itu.

Pada dasarnya, merk adalah tanda berupa gambar, susunan warna, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki pembeda, dan digunakan dalam kegiatan perdagangan yang sama. Sedangkan merek dagang adalah merek barang yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya, maksudnya adalah barang yang termasuk dalam satu cabang industri atau satu cabang perdagangan yang sama.
Terdapat beberapa ketentuan mengenai merek yang tidak diperbolehkan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, seperti:
§         Merek orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang sejenis
§         Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan jasa sejenis
§         Indikasi geografis yang sudah terkenal

Maka dalam hal ini pengusaha tersebut telah melanggar apa yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang HAKI, yaitu telah membuat logo merek sama dengan logo perusahaan lain yang telah terdaftar, walaupun terdapat perbedaan pada namanya. Ini dapat dikategorikan sebagai merek sama pada pokoknya.

Maka dalam hal ini pengusaha tersebut telah melanggar hak cipta dan perusahaan yang lain tersebut berak mendapatkan keadilan atas hak kekayaan intelektual yang dimilikinya. Perusahaan tersebut dapat menggugat pengusaha lainnya terkait dengan peniruan logo.

Pengaturan mengenai gugatan terhadap peniruan logo tersebut diatur dalam Undang-Undang HAKI pasal 76-pasal 77. Pemilik terdaftar bisa mengajukan gugatan kepada perseorangan atau badan hukum yang telah menggunakan merek tanpa hak merek barang atau merek jasa. Seperti merek mempunyai persamaan pada pokok atau keseluruhan dengan mereknya, baik merupakan gugatan ganti rugi dan atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersbut. Dalam hal ini gugatan dapat diajukan melalui Pengadilan Niaga.
Itulah sekilas mengenai contoh kasus hukum dagang. Artikel mengenai contoh kasus hukum dagang ini disadur dari buku yang berjudul 233 tanya jawab seputar hukum bisnis, yang ditulis oleh Engga Prayogi, SH dan RN Superteam, yang diterbitkan oleh Pustaka Yustisia, Yogyakarta, tahun 2011.

Sumber
http://statushukum.com/kasus-hukum-dagang.html

BAB 5
Contoh kasus hukum perjanjian

Direktur Umum Lion Air Edward Sirait saat dikonfirmasi terkait penangkapan pilot yang terbukti menghisap sabu mengaku prihatin. Ia menyebut pihak manajemen akan mengambil langkah tegas bagi yang bersangkutan sesuai dengan apa yang diperbuat. Tidak ada toleransi untuk masalah yang menyangkut keselamatan penumpang, dan ini jelas-jelas melanggar banyak aturan, sanksinya bisa berlapis. Ia prihatin peristiwa tertangkapnya pilot Lion karena masalah narkoba harus terulang kembali. Menurutnya selama ini sudah banyak contoh negatif yang terjadi karena penyelahgunaan narkoba, termasuk pemecatan pegawai Lion karena kasus narkoba, tapi tetap saja ada yang melakukan. Kami tentunya tidak mungkin mengawasi satu per satu pegawai selam 24 jam, tapi ke depan kami akan mencari langkah antisipasi lagi yang lebih ketat, kata Edward. Edward menjelaskan, jika selama ini semua pegawai Lion sudah untuk tidak melanggar aturan hukum yang berlaku. Selain sudah diatur dalam perundangan, urusan penyelahgunaan narkoba termasuk mengonsumsi, memiliki atau bahkan mengedarkan narkoba sudah diatur dalam pedoman awak pesawat. Penerapan aturan itu kembali ditegaskan dan diulang dalam perjanjian bersama.

Sebagai langkah antisipatif pihak manajemen juga melakukan pemeriksaan sampling urine secara berkala. Pihak manajemen juga sudah bertindak tegas pada pegawai yang terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran termasuk penyalahgunaan narkoba. Edward berjanji akan lebih mengintensifkan pengawasan pada pegawai dan awak pesawat. Pengawasan bukan hanya berlaku ketat di Jakarta, tapi juga akan diberlakukan lebih ketat di daerah-daerah.
Pihak Lion juga merangkul keluarga pegawai untuk bersama-sama menghindari pengaruh penyalahgunaan narkoba. Melalui kedekatan dengan keluarga diharapkan pihak manajemen dan keluarga bisa sama-sama memberi informasi, sehingga jika ditemui indikasi awal bisa segera ditindaklanjuti.

Sumber            :


BAB 4
Contoh kasus hukum perikatan

Tenants Corp V. Max Rothenberg & Co. (1971) Kewajiban kepada klien karena kelalaian

Penggugat adalah sebuah perusahaan yang memiliki kegiatan penyewaan apartemen, sedangkan tergugat adalah sebuah kantor akuntan public dengan gugatan kerugian yang disebabkan oleh kegagalan tergugat untuk menemukan adanya penggelapan senilai lebih dari $110.000 yang dilakukan oleh Riker salah seorang staf manajemen penggugat. Secara lisan Riker telah menugaskan Rothenberg dengan imbalan tahunan sebesar $600.

Penggugat menyatakan bahwa Rothenberg telah ditugaskan untuk melaksanakan semua jasa akuntansi dan auditing yang diperlukan. Tergugat menyatakan bahwa ia hanya ditugaskan untuk melakukan pekerjaan pencatatan serta menyusun laporan keuangan dan surat pemberitahuan pajak yang terkait. Sebagai bukti atas pendapat masing-masing, penggugat menunjukan bahwa ia membukukan imbalan akuntan sebagai beban biaya auditing, sedangkan tergugat menunjukkan adanya tanda ”unaudited”atau ”tidak diaudit” yang diberikan pada setiap lembar halaman laporan keuangan. Selain itu, dalam surat pengantar laporan keuangan, akuntan menyatakan bahwa:
1.       Laporan keuangan disusun dari sejumlah buku dan catatan perusahaan dan
2.       Tidak dilakukan verifikasi independen atas buku dan catatan tersebut.

Pengadilan menyimpulkan bahwa tergugat ditugaskan untuk melaksanakan suatu audit karena Rothenberg mengakui bahwa ia telah melaksaanakan beberpa prosedur audit secara terbatas, seperti memeriksa rekening bank, faktur dan tagihan. Kenyataannya, salah satu kertas kerja CPA yang berjudul ”Faktur yang Hilang” menunjukan adanya pembayaran sebesar lebih dari $40.000 yang tidak memiliki dokumen pendukung. CPA tidak memberitahukan penggugat tentang faktur-faktur ini serta tidak melakukan upaya untuk mendapatkannya. Pengadilan juga menyimpulkan bahwa akibat kelalaian CPA dalam melaksanakan jasa, timbul kerugian sebesar $237.000. Selanjutnya pengadilan banding menegaskan dengan mengatakan:
§         Terlepas dari apakah CPA melaksnakan audit atau melaksanakan pekerjaan pencatatan, CPA wajib memberitahu klien tentang adanya kesalahan yang diketahuinya atau tindak mencurigakan lainnya yang dilakukan oleh para karyawan klien.
§         Kertas kerja tergugat mengindikasikan bahwa tergugat memang melaksanakan beberapa prosedur audit.
§         Catatan menunjukkan bahwa tergugat ditugaskan untuk melakukan audit atas buku-buku serta catatan-catatan, sementara prosedur yang digunakan oleh tergugat telah ”dilaksanakan secara tidak lengkap, tidak mencukupi, dan tidak tepat”.

Dalam kasus ini menunjukan pentingnya memiliki kontrak tertulis (surat perikatan) untuk setiap perikatan profesional. Sebuah kontrak tertulis memang penting, namun bukan satu-satunya masalah dalam kasus ini. Yang menjadi pokok masalah adalah kelalaian CPA untuk memberitahu klien tentang adanya kecurangan yang dilakukan oleh karyawan klien, tanpa memandang jenis jasa yang diberikan.


Sumber
Botnton, Johnson, Kell. Modern Auditing. Jakarta: Erlangga

BAB 3

Contoh Kasus Hukum Perdata

Contoh Hukum Perdata Warisan

Seorang ayah yang ingin mewariskan harta bendanya ketika kelak ia meninggal tentunya akan menuliskan sebuah surat wasiat. Namun ketika seorang ayah tersebut telah meninggal, dimana kemudian terjadi selisih paham antara anak-anaknya dan berujung kepada pelaporan salah seorang anak kepada pihak yang berwenang tentang perselisihan yang terjadi, maka kasus tersebut juga termasuk salah satu contoh kasus hukum perdata.

Contoh Hukum Perdata Perceraian

Bila terjadi suatu masalah didalam suatu rumah tangga yang tidak menemukan solusi atau jalan keluar, maka sebagai jalan keluar alternatif yang diambil adalah perceraian. Suatu perceraian tersebut mungkin menjadi jalan satu-satunya yang dapat ditempuh untuk mengakhiri permasalahan yang terjadi didalam rumah tangga tersebut. Kasus perceraian ini merupakan salah satu contoh yang masuk dalam kategori hukum perdata.

Contoh Kasus Perdata Pencemaran Nama Baik

Seorang artis merasa terhina atas pemberitaan sebuah media massa. Gosip tersebut telah digosipkan oleh media menjadi seorang pengedar dan pemakai psikotropika. Karena tidak terima dengan pemberitaan tersebut, maka sang artis melaporkan media massa tersebut ke polisi atas tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Kasus antara artis dan media massa tersebut juga termasuk menjadi salah satu contoh kasus hukum perdata.


Sumber
http://www.beritaterhangat.net/2012/12/contoh-hukum-perdata.html

BAB 2
Contoh Kasus Subyek dan Obyek Hukum

Pemilik TPI Perseteruan dua keluarga kaya membuat nasib TPI terkatung. Kini, TPI telah berganti nama menjadi MNC TV. Namun, konflik hukum ekonomi ini terus berlangsung. Gugatan silih berganti. Bahkan, Harry Tonoesudibyo dan Cendana perang komentar di media. TPI sempat kolaps dan kalah di pengadilan. Polemik ini belum reda tapi stategi MNC menyiarkan pertandingan liga Inggris dianggap sebagai salah satu usaha perombakan citra. Kiprah selanjutnya dari MNC TV memang masih harus ditunggu. Namun demikian rebutan hak dari dua keluarga kaya tersebut memang telah membuat TPI hampir kehilangan pemirsa. Dan yang lebih berbahaya tentu saja kehilangan pemirsa. Dan yang lebih berbahaya tentu saja kehilangan kepercayaan dari pemasang iklan.

Penyelesaian: Rebutan hak seperti yang terjadi denagn TPI semestinya tidak menjadi konsumsi publik, karena sebenarnya urusan tersebut lebih kepada urusan manajemen yang bisa diselesaikan secara profesional tanpa harus terlalu banyak melibatkan orang. Tapi rupanya tidak demikian dengan TPI. Masing –masing pihak seperti sama-sama gatal ingin berbicara dan menunjukkan kepada publik siapa sebenarnya yang benar dan salah. Padahal kalau pun kemudian diketahui siapa yang benar dan salah, siapa yang kalah dan menang, manfaatnya terhadap perusahaan samasekali tidak terlalu signifikan. Tapi jusru dengan adanya perombakan siaran sebagai sebagai bagian atau buntut kericuhan tersebut itulah yang membuat publik bertanya-tanya. Pada masa tenggang perubahan citra, bahkan sempat pemasukan iklan anjlok karena banyak perusahaan yang menahan beriklan di TPI yang pasca rebutan hak mencuat berubah menjadi MNC TV

Sumber
http://ayukusumahdamayanti.blogspot.com/2013/04/kasus-hukum-ekonomi.html

BAB 1

Contoh Kasus Hukum Ekonomi

Kasus PT. KEM

Sub-Komisi Mediasi Komnas HAM bersama Walhi terlibat mediator dalam penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia akibat beroperasinya PT. KEM di kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. Tim Pencari Fakta (TPF) yang di bentuk, menyimpulkan dugaan terjadinya serangkaian pelanggaran hak asasi manusia di sekitar wilayah pertambangan PT. KEM. Terdapat upaya sistematis dari Pemerintah dan perusahaan mendesak masyarakat keluar dari lahan penambangannya demi kepentingan pertumbuhan ekonomi daerah.

Atas temuan tersebut, Komnas HAM membentuk Tim kedua bertujuan mengidentifikasi dan mendokumentasikan tuntutan korban menindaklanjuti upaya penyelesaian melalui musyawarah. Dari perundingan oleh lembaga Kesejahteraan Masyarakat Tambang dan Lingkungan (LKMTI) mewakili masyarakat, Walhi, PT. KEM, Pemda Kutai Barat dan Komnas HAM, dicapai kesepakatan pada tanggal 12 September 2001 bahwa LKMTL menerima paket 53 milyar yang ditawarkan PT. KEM. Selanjutnya LKMTI, dan PT. KEM melakukan proses validasi yang disaksikan petinggi/kepala kampung dan dibuat komunike bersama mengenai mekanisme pembayaran uang ganti rugi tersebut. Sedangkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab PT. KEM, dimana para pelakunya telah menyalahgunakan kedudukan formal mereka di PT. KEM, telah diajukan ke pengadilan.

Kasus Penebangan Liar

Keterlibatan aparat militer dalam operasi kehutanan meliputi kegiatan gelap yang dilakukan oleh badan-badan usaha militer, seperti penebangan berlebihan di area konsesi milik yayasan militer atau pemrosesan kayu gelap di pabrik kayu yang dijalankan oleh komando militer.  Selain itu, raja-raja kayu setempat juga telah menggantungkan diri pada komando daerah militer untuk menggunakan intimidasi dan kekerasan guna mendapatkan persetujuan masyarakat setempat. Raja-raja kayu ini menerima keuntungan dari kekebalan hukum yang timbul dari hubungan mereka dengan pasukan keamanan.

Masalah ini telah diselidiki secara amat mendalam di daerah-daerah terpencil dan di daerah yang mengalami persengkataan di Indonesia. EIA dan LSM memperlihatkan peran militer di dalam segala aspek penebangan liar di papua, dimana penyelundupan kayu besar-besaran sedang terjadi. Akibat laporan EIA tentang Papua, Presiden  Yudhoyono mengumumkan akan memberantas penebangan liar dan berjanji tidak akan mengecualikan prajurit militer. Dan pada akhirnya 200 orang prajurit militer ditangkap melalui pemberantasan penebangan liar. Petugas pemberantasan menyampaikan kekecewaan mereka bahwa, pada akhirnya banyak dari mereka yang ditangkap kemudian hanya dilepaskan tanpa diberi dakwaan apapun dan dalam sebagian besar kasus ini, mereka tidak dapat memperoleh informasi mengenai hasil peradilan militer.

Selain meremehkan kekuasaan hukum keterlibatkan militer di dalam kegiatan kehutanan secara ilegal telah dihubungkan dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia. Masyarakat yang berani menentang kegiatan penebangan hutan yang didukung oleh militer telah dituduh sebagai kelompok separatis. Mereka juga telah menjadi korban langsung dari prajurit-prajurit yang merampas kayu mereka untuk dijual kembali, kadang-kadang dengan menggunakan kekerasan dan taktik intimidasi.

Kasus C & H Engineering v F Klucznic & Sons Ltd

Penggugat menuntut tergugat atas pelanggaran hak cipta atas gambar tempat memberi makan biri-biri yang dibuat oleh penggugat yang ditiru oleh tergugat dalam membuat tempat makan babi. Tergugat mengajukan gugatan balik terhadap penggugat bahwa penggugat telah melanggar hak desainnya atas tempat memberi makan babi yang ditiru penggugat sebagai tempat memberi makan babi yang ditiru penggugat sebagai tempat memberi makan biri-biri. Tempat memberi makan biri-biri tersebut mempunyai tabungan berbentuk bulat yang dipasang pada sisi teratas. Tabungan inilah yang membuat desain tempat memberi makan babi tersebut menjadi spesifik dan tidak lumrah.

Dalam kasus ini Aldous J memutuskan berdasarkan ketentuan pasal 226 CDPA 1988 yang menyatakan bahwa pemegang hak desain harus dapat membuktikan adanya peniruan tersebut. Dalam hal ini dapat dilakukan pengujian tindak pelanggarannya. Benda yang dianggap sebagai hasil pelanggaran harus dibandingkan dengan model desain yang dibuat oleh pendesain. Penguji ini dilakukan untuk menemukan fakta, apakah benda yang dianggap sebagai hasil pelanggaran desain industri tersebut dibuat sama persis atau secara substansial sama dengan desain itu. Ini membutuhkan pengujian objektif melalui mata orang yang menjadi sasaran desain (dalam hal ini pertenakan babi), melihat perbedaan dan persamaan antara kedua desain tersebut.

Daftar Pustaka
KDT (2007), Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia. Jakarta: YLBHI
Dr. Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri Di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo

Selasa, 11 Desember 2012


Sejarah Perkembangan Koperasi Di Indonesia



Menurut sukuco dalam bukunya “seratus tahun koperasi di Indonesia di Leuwiliang, yang didirikan pada tanggal 16 Desember 1895.

Pada hari itu, Raden Ngabei Ariawiriaatmadja, Patih Purwokerto, bersama kawan-kawan, telah mendirikan Bank Simpan-Pinjam untuk menolong sejawatnya para pegawai negeri pribumi melepaskan diri cengkraman pelepas uang, yang di kala itu merajalela. Bank Simpan-Pinjam tersebut, semacam Bank tabungan jika dipakai istilah UU No.14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, diberi nama “De Poerwokertosche Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Hoofden”. Dalam bahasa Indonesia, artinya kurang lebih sama dengan Bank Simpan-Pinjam para “priyayi”Purwokerto.

Dalam bahasa Inggris (bagi generasi pasca bahasa Belanda) sama dengan “the Purwokerto Mutual Loan and Saving Bank for Native Civil Sevants”. Para pegawai (punggawa ataau ambtenaar) pemerintah colonial Belanda bisa disebut “priyayi”,sehingga banknya disebut sebagai “bank priyayi”. “Gebrakan”Patih Purwokerto E. Sieburg, atasan sang Patih. (Sumber: Penjelasan dari Ir. Hardianto Martosubroto, M.Sc. Ketua Perkumpulan ‘trah’ Raden Ariawiriaatmaadja, Jakarta, 1995).

Tidak lama kemudian, E. Sieburg diganti oleh WPD de Wolf van Westerode yang baru datang dari negeri Belanda, dan ingin mewujudkan cita-citanya menyediakan kredt bagi petani melalui konsep koperasi Raiffeisen. Koperasi tersebut adalah koperasi kredit pertanian yang dicetuskan Friedrich Wilhelm Raiffeisen, jerman, dan dipelajari de Wolf van Westerrode memperluas lingkup dan jangkauan “De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden” atau Bank Simpan Pinjam dan Kredit Pertanian tersebut dan sekaligus sebagai perwujudan gaagasan membaangun koperasi, maka didirikanlah lumbung-lumbung Desa di pedesaan Purwokerto. Lumpung Desa adalah lembaga simpan-pinjam para petani dalam bentuk bukan uang, namun in-natural (simpan padi, pinjam uang). Maklum, satu abad yang silam uang (tunai) teramat langka di pedesaan.

Dari uraian diatas jelaslah bahwa Patih Wiriaatmadja telah mendirikan ”De poerwokertosche Hulp an Spaarbank der Inlandsche Hoofden” alias ”bank priyayi”pada tahun 1895. Kemudian pada tahun 1896, atas prakasa de Wolf van Westerrode berdirilah ”De Poerwokertosche Hulp, Spaar en Landbouwcredit Bank”beserta ”Lumbung-lumbung Desa”. Namun, benarkah bank priyayi serta Lumbung Desa merupakan perintis koperasi?
Perlu diingat bahwa Indonesia baru mengenal perundang-perundangan koperasi pada tahun 1915, yaitu dengan diterbitkannya ”Verordening op de Cooperative Vereningin”, Kononklijk besluit 7 April 1915, Indisch Staatsblad No. 431. Peraturan tersebut tidak ada bedanya dengan Undang-Undang Koperasi Negeri Belanda menurut Staatsblad tahun 1876 No. 277. Jadi, karena perundangan-undangan koperasi baru ada pada tahun 1915, maka pada tahun 1895 badan hokum koperasi dikenal di Indonesia.

Pada tahun 1920, diadakan Cooperative Commissie yang diketuai oleh Dr. JH. Boeke sebagai Adviseur voor Volks-credietwezen. Komisi ini diberi tugas untuk menyelidiki, apakah koperasi bermanfaat di Indonesia. Hasilnya diserahkan kepada Pemerintah pada bulan September 1921, dengan kesimpulan bahwa koperasi dibutuhkan untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Seiring dengan perkembangaan jaman dan tuntutan lingkungan strategis, maka pada taahun1927 dikeluarkanlah Regeling Inlandsche Cooperative Vereenigingen (sebuah peraturan tentang Koperasi yang khusus berlaku bagi golongan bumi putra). Untuk menggiatkan pergerakan koperasi yang diatur menurut Peraturan Koperasi 1927, pada akhir tahun1930 didirikanlah Jawaatan Koperasi. Jawatan koperasi waktu itu dipimpin oleh Prof. J.H. Boeke. Sejak lahirnya, jawatan Koperasi (1930-1934) masuk dalam lingkungan departemen BB (Departemen dalam Negeri). Kemudian pada tahun 1935, Jawatan Koperasi dipindahkan ke Departemen EZ. (Departemen Kehakiman).

Pada tanggal 12 Juli 1947, diselenggarakan kongres gerakan koperasi se-Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut, diputuskan terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI, menjadikan taanggal12 Juli sebagai Haari Koperasi, serta menganjurkan diadakannya pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat.

Dalam proses perjuangan gerakan koperasi, pada tahun 1951 di Jawa Barat dan Sumatera Utara didirikan badan-badan koordinasi yang merupakan badan penghubung cita-cita antar koperasi serta merupakan sumber penerangaan dan pendidikan bagi anggota koperasi. Dia Jawa Barat, didirikan Bank Propinsi jawa Barat yang dimaksudkan untuk mengadakan pemusatan usaha dalam jasa keuangan bagi gerakan koperasi di Jawa Barat.

Pada tahun 1960, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 140 tentang Penyaluran Bahan Pokok dan menugaskan koperasi sebagai pelaksananya. Kemudian pada tahun 1961, diselenggarakan Musyawarah Nasional Koperasi I (Munaskop I) di Surabaya untuk melaksanakan prinsip Demokrasi Terpimpin dan Ekonomi terpimpin. Sejak saat itu, langkah-langkah mempolitikkan koperasi mulai tampak.
Pada tahun 1965, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1965, dimana prinsip NASAKOM diterapkan pada koperasi. Pada tahun itu juga dilaksanakan Munaskop II di Jakarta, yang merupakan pengambilalihan koperasi oleh kekuatan-kekuatan politik sebagai pelaksanaan UU, baru. Perlu diketahui bahwa, pada tahun yang sama pula digerakkan  Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI), yang berpengaruh besar terhadap perkembangan koperasi.

Kemudian, pada tahun 1967, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian yang mulai berlaku tangga; 18 Desember 1967. dengan berlakunya UU ini, semua koperasi wajib menyesuaikan diri dan dilakukan penerbitan organisasi koperasi. Keharusan menyesuaikan diri denga UU tersebut mengakibatkan penurunan jumlah koperasi, dari sebesar 64.000 unit (45.000 unit di antaranya telah berbadan hukum) tinggla menjadi 15.000 unit. Selebihnya tidak dapat menyesuaikan diri. Pada tahun 1992, UU No. 12 Tahun 1967 tersebut disempurnakan dan diganti menjadi UU. No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Di samping UU, No.25 tersebut, Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1995 tentang Kegiatan Usahaa Simpan Pinjam oleh koperasi. Peraturan pmerintah tersebut juga sekaligus memperjelas kedudukan koperasi dalam usaha jasa keuangan, yang membedakan koperasi yang bergeraak di sektor moneter dan sektor riil.


Sumber:
Koperasi: Teori dan Praktik/Arifin Sitio, Halomoan Tamba; editor, Wisnu Chandra Kristiaji, Jakarta: Erlangga, 2001.